Kisah Islamnya Seorang Pengelana Agama
Kisah
Islamnya Seorang Pengelana Agama. Sugen Threen, Masuk Islam Setelah
Jadi Pengelana Agama. Mimpi yang dialaminya pada suatu malam di
penghujung September 2005 seakan menjadi pembuka jalan hidayah bagi
Sugen Threen. "Dalam mimpi tersebut saya mengenakan pakaian gamis,
bersorban lengkap dengan selendang sedang berdakwah," ujarnya membuka
pembicaraan dengan Republika, Kamis (4/3).
Setelah
mendapat mimpi seperti itu, pria kelahiran Jakarta, 15 Maret 1969, ini
lantas menemui seorang ulama kenalannya yang bermukim di daerah
Cibarusah, Bekasi. Kepada ulama tersebut, Sugen menceritakan mimpi yang
didapatnya. "Mimpi bagus datangnya dari Allah, mimpi buruk datangnya
dari setan," begitu jawaban sang kiai kala itu.
Mendapat
jawaban seperti itu, Sugen merasa bahwa mimpi yang datang dalam
tidurnya itu merupakan sebuah mimpi bagus. Ia pun teringat dengan
perkataannya sendiri tatkala sang ulama memintanya untuk masuk Islam
jauh sebelum ia mendapatkan mimpi itu.
Waktu
itu ia berkata, "Buat apa masuk Islam, sedang orang Islam sendiri
banyak yang tidak benar. Kalau Allah menyuruh secara langsung, saat itu
juga saya akan masuk Islam." Setelah melakukan diskusi dan merenung,
Sugen pun dengan mantap memutuskan masuk Islam.
Peristiwa
tersebut terjadi tepat 10 hari sebelum datangnya bulan Ramadhan tahun
2005. Di hadapan KH Abdul Haq Hamidy, sang guru spiritualnya, ia
mengutarakan keinginannya untuk masuk Islam. Dengan dibimbing oleh KH
Abdul Haq Hamidy, ia pun mengucapkan syahadat.
Setelah
resmi menjadi seorang mualaf, hari-harinya ia isi dengan belajar
shalat wajib lima waktu. Semua itu, ia pelajari secara autodidak, baik
melalui bukubuku agama maupun melihat secara langsung gerakan orang
shalat. "Saya awalnya belajar shalat dari buku. Lalu, saya catat. Suatu
hari, ketika ikut shalat berjamaah, catatan saya bawa. Sambil
mengikuti shalat berjamaah, saya memerhatikan catatan tersebut.
Akibatnya, jamaah di samping saya bingung dengan tindakan saya," ujar
Sugen mengingat memori masa lalunya belajar Islam.
Awalnya,
Sugen adalah pemeluk Hindu. Ayahnya adalah warga Indonesia keturunan
India, sementara sang ibu keturunan Arab. Meski kedua orang tuanya
menikah secara Islam, namun menurutnya, dalam keseharian mereka tidak
pernah menjalankan kewajiban sebagai seorang Muslim. Bahkan, dalam
perjalanannya, ibunya memilih untuk menjadi pemeluk Hindu. Keyakinan
yang dianut sang ibu ini pun diikuti oleh Sugen dan ketiga orang
adiknya.
Ketika
mengenyam pendidikan di bangku kuliah, ia sempat berpindah keyakinan
ke agama Katolik. Hal ini dikarenakan ia mempunyai seorang pacar
beragama Katolik. "Saya sempat dibaptis dan mendapat nama baptis
Franciscus Xaverius," ujarnya.
Namun,
karena hubungannya tak direstui sang Ibu, Sugen kembali ke Hindu dan
memutuskan hubungan dengan sang pacar. Oleh orang tuanya, Sugen
dijodohkan dengan gadis keturunan India yang juga merupakan pemeluk
Hindu.
Doa
kiai Selepas menamatkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Trisakti
pada 1992, Sugen melakoni sejumlah pekerjaan yang menurut istilahnya
`bekerja di jalan yang keras'. Dengan postur tubuh yang tinggi besar,
tak mengherankan jika ia pernah menjadi seorang debt collector dan
backing di tempat-tempat hiburan. Pekerjaan tersebut, ia jalani di
sela-sela kesibukannya sebagai seorang pengacara.
Profesinya
selalu menjadi bayangbayang ancaman dari pihak yang tidak menyukainya.
Ia pun menjalin hubungan dengan ulama dan kiai. "Setiap kali akan
bekerja saya selalu minta didoakan, selain kepada ibu juga ke para kiai
dan ulama tersebut. Salah satunya adalah KH Abdul Haq Hamidy,"
kenangnya.
Meski
bukan seorang pemeluk Islam, namun doa yang diberikan oleh KH Abdul
selalu ia lafalkan setiap kali hendak berangkat kerja. Dan, atas izin
Allah, ia kerap luput dari berbagai upaya penyerangan yang hendak
dilakukan oleh para musuh-musuhnya. Berbagai ujian Perihal keputusannya
memeluk Islam, dengan cepat diketahui oleh orangorang terdekat Sugen.
Ibunya langsung memanggilnya. "Kamu pindah agama seperti pakai baju aja,
tidak bilangbilang dan didiskusikan dulu dengan keluarga," ujar sang
ibu kala itu.
Setelah
berdiskusi, ibunya memutuskan kembali ke Islam. Ia pun bersyukur. Ia
berhasil mengembalikan ibunya ke jalan yang benar. Anak-anaknya pun
mengikuti jejaknya. Ia berharap, anggota keluarganya yang lain segera
menyusul.
Kabar
keislamannya makin meluas. Tetangga, teman, rekan kerja, pun banyak
yang tahu. Di sinilah ujian bertubi-tubi datang menghantam.
Atasannya--seorang pemeluk Hindu-langsung memanggilnya. Tak ada angin
atau hujan, ia diberi cuti oleh perusahaannya selama sebulan.
Awalnya,
ia menganggap cuti ini sebagai perhatian perusahaan pada dirinya. Ia
anggap, cuti itu sebagai hadiah agar makin khusyuk menjalankan puasa.
Selepas cuti pertama, ia masuk kantor. Lagi-lagi, perusahaan memberikan
tambahan cuti baginya. Sebulan lagi. Kembali `hadiah' ini ia ambil.
Namun, di sinilah mulai munculnya ujian yang sesungguhnya.
Ketika
menjalani masa cuti kedua kalinya ini, datang surat dari kantor.
Isinya meminta Sugen untuk mengembalikan fasilitas kantor berupa mobil
dinas. Ia juga di-nonjob-kan. "Saat itu rasanya saya seperti dihantam
gemuruh besar," ujarnya sambil berusaha menahan air mata yang sore itu
tak kuasa ia bendung. Yang bisa ia lakukan kemudian hanya pergi ke
kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan shalat.
Keesokan
harinya, ia masuk ke kantor untuk menyelesaikan segala urusan
administrasi dan pekerjaan kantor yang belum sempat ia selesaikan. Ia
juga mendatangi kantor pusat untuk melapor. Saat datang ke kantor pusat
ini, beruntung pemilik perusahaan tempatnya bekerja memanggilnya.
"Berkat
beliau juga pihak kantor mau membayarkan gaji saya pada saat cuti
selama dua bulan." Setelah resmi keluar dari pekerjaannya, Sugen
menafkahi keluarga besarnya hanya dengan gaji yang terakhir dan menjual
beberapa aset yang ia miliki saat itu, seperti mobil. Hidup sebagai
pengangguran sempat ia jalani selama dua tahun. Meski dalam kondisi
terpuruk pun, ia tidak pernah melupakan Allah SWT. "Hari-hari saya isi
dengan belajar ngaji dan memperdalam Islam," ungkapnya.
Namun,
di balik ujian ini, pasti ada hikmah. Melalui tangan seorang hambaNya,
Allah SWT memberinya kesempatan untuk menjejakkan kaki di Tanah Suci.
Salah seorang kenalannya yang bernama Sofyan Leimena, bersedia
membiayainya untuk umrah. Saat itu, baru delapan bulan ia menjadi
seorang Muslim dan tengah menganggur.
Karunia
Allah SWT kemudian menghampirinya lagi pada Agustus 2007. Saat itu,
akhirnya ia bisa mendapatkan pekerjaan, meski secara serabutan.
Kemudian, pada Oktober 2007, ia mendapatkan panggilan wawancara dari
sebuah perusahaan swasta. Ia pun diterima bekerja, dan hingga saat ini,
ia masih bekerja di perusahaan tersebut.
Kemurahan
hati sang pemilik perusahaan tempatnya bekerja saat ini, juga telah
membawanya bisa menunaikan rukun Islam terakhir, naik haji. Pada musim
haji tahun lalu, atas sebagian biaya dari kantor, ia berangkat ke Tanah
Suci. ( republika.co.id )