Minggu, 19 Agustus 2012

Dosa dan Penebusan Dosa (4) 

Sekarang marilah kita beralih pada peristiwa Penyaliban itu sendiri. Di sini kita dihadapkan pada dilema lain yang tidak terpecahkan. Yesus, sebagaimana berkali-kali diberitahukan kepada kita, mempersembahkan dirinya secara sukarela kepada Tuhan Bapak dan dijadikan sebagai tumbal bagi dosa-dosa seluruh umat manusia, yang tentunya diperuntukkan buat mereka yang mempercayai Yesus. Namun, ketika waktu pengabulan keinginannya itu sudah mendekat dan akhirnya kilauan harapan bagi umat manusia yang penuh dosa mulai tampil bagai fajar di pagi hari, sebagaimana kita beralih kepada Yesus mengharapkan dapat menyaksikan kesenangan, kegembiraan dan kenikmatan yang dia rasakan pada detik yang sangat penting dalam sejarah umat manusia itu, betapa mendalamnya kekecewaan dan kebingungan kita.

Bukannya kita mendapatkan seorang Yesus yang tidak sabar menanti saat sorak-sorai kegirangan, justru yang kita saksikan adalah seorang Yesus yang merintih, menangis, berdoa, dan memohon kepada Tuhan Bapak untuk menjauhkan cawan pahit kematian itu darinya. Dia benar-benar mengecam seorang muridnya ketika dia mendapatkan muridnya itu tertidur setelah mengalami suatu lari yang panjang dan penderitaan sepanjang malam yang gelap-gulita sehingga tidak memperhatikan Yesus, junjungan sucinya. Keterangan Bible tentang peristiwa tersebut adalah sebagai berikut:

Maka sampailah Yesus bersama-sama muridnya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu ia berkata kepada murid-muridnya: "Duduklah di sini, sementara aku pergi ke sana untuk berdoa." Dan ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus sertanya. Maka mulailah ia merasa sedih dan gentar, lalu katanya kepada mereka: "Hatiku sangat sedih, seperti mau mati rasanya." Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan aku." Maka ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini berlalu dari padaku, tetapi janganlah seperti yang kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Setelah itu ia kembali kepada murid-muridnya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan dia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan aku? Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam percobaan: ruh memang penurut, tetapi daging lemah." Lalu ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, katanya: "Ya Bapaku, jikalau cawan ini tidak mungkin berlalu, kecuali apabila aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Dan ketika ia kembali pula, ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat. Ia membiarkan mereka disitu lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga. (Matius 26:36-43)

Demikianlah, seperti yang diungkapkan sendiri oleh cerita Kristen, doa-doa dan permohonan Yesus maupun murid-muridnya tidak dikabulkan oleh Tuhan Bapak, dan mau tidak mau, walaupun Yesus mengungkapkan pernyataannya yang kuat, dia akhirnya telah disalibkan. Apakah dia orang yang sama, pangeran tak berdosa yang sama, dan tokoh suri tauladan pengorbanan yang dengan gagah berani mempersembahkan dirinya secara sukarela untuk memikul beban seluruh dosa umat manusia di atas kedua pundaknya, ataukah dia orang yang lain? Sikapnya, pada saat-saat menjelang penyaliban dan selama peristiwa penyaliban itu sendiri, dengan kuat menebarkan bayangbayang keraguan, mengenai identitas Yesus Kristus maupun mengenai hakikat dongeng yang beredar di seputar dirinya. Namun, tentang itu akan kita bahas belakangan. Sekarang marilah kita kembali pada penelitian cermat yang kita tinggalkan tadi.

Beberapa persoalan lain yang timbul dari jeritan penderitaan terakhir Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Siapa yang telah memanjatkan doa-doa yang sangat pedih dan menyentuh itu? Apakah Yesus sebagai manusia, ataukah Yesus sebagai Tuhan Anak?

Jika itu merupakan Yesus sebagai inanusia, yang telah ditinggalkan, maka ditinggalkan oleh siapa? Dan mengapa? Jika kita terima pilihan ini, hal itu akan menjamin bahwa hingga saat terakhir Yesus sebagai manusia memiliki sebuah identitas yang berdiri sendiri, yang dapat berpikir dan merasakan secara bebas dan secara pribadi. Apakah dia mati pada detik terlepasnya ruh Yesus Tuhan Anak dari tubuh manusia yang telah dia duduki? Jika ya, mengapa dan bagaimana? Jika memang demikian dan tubuh manusialah yang telah mati setelah ruh Tuhan meninggalkannya, maka pernyataan yang muncul adalah: Siapa pula yang telah dihidupkan kembali dari kematian ketika ruh Tuhan mendatangi kembali tubuh yang sama beberapa saat kemudian?

Kembali, pilihan ini akan menggiring kita untuk mempercayai bahwa bukanlah Yesus Tuhan Anak yang merasakan penderitaan saat itu, tetapi tokoh Yesus sebagai manusialah yang merintih dalam penderitaan sedemikian rupa, dan dialah yang merasakan penderitaan, sementara Yesus Tuhan Anak menyaksikannya dengan sikap tidak acuh dan tidak peduli sama sekali. Lalu bagaimana dia dapat menggenapi pendawaan bahwa dialah Tuhan Anak yang telah menanggung penderitaan demi umat manusia, bukan tokoh manusia yang berada dalamnya?

Pilihan lain adalah, kita menganggap bahwa Yesus Tuhan Anaklah yang merintih itu, sementara tokoh manusia yang berada dalam dirinya, mungkin berharap dapat memulai suatu kehidupan baru bagi dirinya sendiri, menyaksikan dengan dugaan yang tidak menentu, sepanjang pengorbanan yang dilakukan Yesus Tuhan Anak, maka dia, Yesus sebagai manusia, dia suka atau tidak, juga akan

dibunuh di atas altar rekannya yang tidak berdosa. Rasa keadilan apa yang telah mendorong Tuhan untuk membunuh dua ekor burung dengan batu yang sama, mungkin suatu misteri yang lain lagi.

Jika itu merupakan Yesus Tuhan Anak, dan memang dialah menurut kesepakatan umum gereja-gereja Kristen, maka persoalan kedua yang muncul dari jawaban pertama adalah tentang identitas pihak kedua yang terlibat dalam ucapan Yesus (Matius 26:39,42). Ada dua pilihan yang terbuka bagi kita:

Pertama, Tuhan Anak berbicara kepada Tuhan Bapak, mengeluhkan bahwa dia telah ditinggalkan pada saat dia membutuhkan. Hal ini dengan tidak terelakkan lagi menggiring kita untuk mempercayai bahwa mereka merupakan dua tokoh berbeda yang tidak hidup bersama dalam satu kepribadian yang saling tergabung, yang secara sepadan bersama-sama memiliki semua sifat dan menerapkannya secara beriringan dengan andil yang seimbang. Satu tokoh tampil sebagai wasit agung, pemilik terkuat kekuasaan tertinggi untuk mengambil keputusankeputusan. Yang satu lagi, Tuhan Anak yang malang, tampaknya darinya telah dicabut secara penuh, atau mungkin secara sementara telah dilepaskan hak-hak kepemilikannya terhadap sifat-sifat kuasa yang dimiliki Bapaknya. Hal utama yang tetap harus diperhatikan adalah kenyataan bahwa keinginan dan kemauan-kemauan mereka yang saling bertentangan tampak paling banyak bertabrakan dan berselisih satu sama lain selama babak akhir dari drama penyaliban.

Persoalan kedua adalah, apakah kedua tokoh yang berbeda itu, dengan pemikiran-pemikiran pribadi masingmasing, nilai-nilai pribadi masing-masing, dan kapasitaskapasitas pribadi masing-masing merasakan keperihan dan penderitaan jika mereka merupakan "dua dalam satu" dan "satu dalam dua?" Jadi, persoalan lain menuntut dialog panjang di antara para theolog mengenai kemungkinan bahwa Tuhan mampu merasakan keperihan dan hukuman.

Bahkan walaupun Dia mampu melakukan hal itu, hanya separuh Tuhan yang akan merasakannya, sementara yang separuh lagi (Yesus) tidak mampu melakukan, karena memang sudah demikian strukturnya atau kemutlakan alamiahnya. Sebagaimana kita masuk lebih jauh ke dalam dunia bayangan dari falsafah yang berbelit ini, cahaya mulai semakin redup dan redup, serta kita mendapatkan kebingungan demi kebingungan.

Masalah lain adalah, dengan siapa Kristus berbicara, padahal dia sendiri adalah Tuhan? Ketika dia berbicara kepada Bapaknya, dia sendiri merupakan bagian yang tidak terpisalkan dari sang Bapak, demikianlah yang diberitahukan kepada kita. Jadi, apa yang dia katakan dan kepada siapa? Pertanyaan ini harus dijawab dengan suatu akal sehat yang bebas, tanpa dipaksa oleh dogma. Hal itu menjadi sebuah dogma hanya apabila tidak dapat diuraikan dalam istilahistilah [pemahaman] manusia. Berdasarkan penyataan Bible, ketika Yesus hampir melepaskan nyawanya, dia merintih kepada Tuhan Bapak: "Mengapa Engkau telah meninggalkan aku?" Siapa yang telah meninggalkan, dan siapa yang telah ditinggalkan? Apakah Tuhan telah meninggalkan Tuhan?


Siapa yang Telah Dikorbankan?
Masalah lain yang harus kita catat adalah, tokoh manusia yang ada dalam Yesus tidak dihukum, dan tidak pula dia harus dihukum berdasarkan logika apa pun, sebab dia tidak pernah dihadapkan pada pilihan untuk memikul beban dosa umat manusia. Unsur baru ini, yang masuk dalam perdebatan kita, menggiring kita ke dalam suatu situasi sangat janggal yang tidak kita sadari sebelumnya. Orang terpaksa merasa heran mengenai hubungan tokoh manusia dalam Yesus dengan warisan kecenderungan melakukan dosa, yang berlaku umum bagi seluruh anak keturunan Adam dan Hawa. Paling tidak, seseorang dapat mempercayai bahwa dalam dualisme Tuhan Anak dan tokoh manusia yang menduduki satu tubuh yang sama, hanya Tuhan Anaklah yang suci dari dosa. Namun, bagaimana pula tokoh manusia sekandungan yang hidup dengannya? Apakah dia juga dilahirkan dengan gen dan sifat yang disediakan oleh Tuhan? Jika ya, maka dia harus bersikap- seperti tokoh Tuhan dalam Yesus dan tidak ada alasan yang dapat diterima jika dia lalai dalam berbagai hal, dengan dalih bahwa dia melakukan hal itu sebab dia seorang manusia. Jika tidak ada unsur Tulan dalam dirinya, yakni dalam tokoh manusia pada Yesus, maka kita harus mengakui bahwa dia hanyalah seorang manusia biasa [bahkan] mungkin separuh manusia. Selain itu, tokoh manusia tersebut yang telah menyatu dalam Yesus, harus tampil sebagai manusia yang mewarisi kecenderungan terhadap dosa. Jika tidak, apa sebabnya?

Jelaslah, tidak ada untungnya mengatakan bahwa sebagai manusia yang secara nyata terpisah dari pasangan Tuhannya, dia tentu telah melakukan dosa secara terpisah dengan seluruh tanggung jawab akan dosa di atas pundaknya sebagai manusia. Skenario ini tidak akan sempurna tanpa memaparkan Yesus Tuhan Anak mengalami kematian; cukup mementingkan diri sendiri tampaknya demi umat manusia tetapi yang menjadi pertimbangan utamanya mungkin demi saudaranya yang separuh itu, yakni tokoh manusia yang ada dalam dirinya.

Semua ini sangat sulit, kalau bukan tidak mungkin, untuk mencernanya secara intelek. Namun, sudut pandang kami tidak menampilkan masalah-masalah seperti itu. Adalah Yesus tokoh manusia yang tidak berdosa di situ — tanpa dualisme dalam dirinya — yang telah melontarkan rintihan keheranan dan penderitaan tersebut.


Dilema yang Dihadapi Yesus

Sekali lagi saya perjelas bahwa bukannya saya tidak percaya kepada Yesus, justru saya memiliki rasa hormat yang mendalam terhadapnya sebagai seorang utusan Tuhan dengan pengorbananpengorbanan yang luar biasa. Saya memahami Yesus sebagai orang suci yang menjalani suatu masa cobaan berat. Namun beriringan dengan mulai terbukanya pengisahan peristiwa penyaliban dan semakin mendekati saat akhirnya, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali mempercayai bahwa Yesus tidak mempersembahkan dirinya dengan sukarela untuk menghadapi kematian di tiang salib. Pada malam sebelum musuh-musuhnya bermaksud membunuh beliau melalui penyaliban, kita mendengar bahwa beliau berdoa sepanjang malam, didampingi seluruh muridnya, sebab kebenaran pendawa'an beliau sedang dipertaruhkan. Telah dikatakan dalam Perjanjian Lama bahwa seorang pendusta yang mengaitkan hal-hal tertentu terhadap Tuhan yang Dia sendiri tidak pernah mengatakannya, akan digantung di sebuah tiang dan dengan itu menjalani kematian yang terkutuk:

Namun seorang nabi yang menganggap dirinya mengucapkan atas nama-Ku sesuatu yang tidak pemah Aku perintahkan kepadanya untuk diucapkan, atau seorang nabi yang berbicara atas nama tuhan-tuhan lain, harus dihukum mati. (lihat Ulangan 18:20).

"Apabila seseorang berbuat dosa yang sepadan dengan hukuman mati, lalu ia dihukum mati, kemudian kau gantung dia pada sebuah tiang, maka janganlah mayatnya dibiarkan semalam-malaman pada tiang itu, tetapi haruslah engkau mengubur dia pada hari itu juga, sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah. (Ulangan 21:22,23).

Yesus mengetahui, jika hal ini terjadi, orang-orang Yahudi akan merayakannya dengan gembira dan menyatakan dirinya seorang pendusta yang kepalsuannya telah terbukti secara jelas berdasarkan kitab-kitab samawi. Inilah sebabnya mengapa dia .sangat gelisah untuk menyelamatkan diri dari cawan kematian yang pahit; bukan karena pengecut tetapi karena takut bahwa umatnya akan terkecoh dan gagal mengenali kebenarannya apabila dia mati di atas salib. Sepanjang malam dia berdoa dengan begitu memilukan dan begitu tidak berdayanya, sehingga dengan membaca tentang penderitaan dan kesengsaraannya itu, hati jadi tersaya-sayat. Namun pada saat drama kehidupan nyata itu mendekati saat kehidupan terakhirnya, puncak ketegangan emosinya, kekecewaan dan ketidakberdayaannya secara penuh telah ditampilkan dalam rintihannya yang terakhir: "Eli, Eli, lamma sabaktani? " yang artinya, "Tuhan-ku, Tuhan-ku, mengapa Engkau telah meninggalkan aku?"1

Hendaknya dicatat bahwa bukan penderitaan saja yang tergambar dalam rintihan itu, tetapi jelas di situ tercampur unsur keterkejutan, mendekati kengerian. Setelah dia disadarkan kembali atas bantuan beberapa murid setianya yang membubuhkan suatu salep terhadap luka-lukanya — yang telah mereka persiapkan sebelum penyaliban dan yang mengandung ramuan-ramuan yang diperlukan untuk mengurangi rasa sakit serta menyembuhkan luka-luka — dengan sangat luar biasa serta gembira, dia kagum dan keimanannya terhadap Tuhan yang sangat dicintai menjadi bangkit serta hidup kembali dalam suatu corak yang jarang dialami manusia dalam hal kehebatan dan ketidakterbatasannya. Kenyataan bahwa salep itu telah dipersiapkan secepatnya, menunjukkan suatu bukti kuat bahwa murid-murid Yesus memang memiliki harapan bahwa dia diturunkan dari tiang salib dalam keadaan hidup, sehingga sangat membutuhkan pengobatan.

Dari hal di atas jadi sangat jelas bahwa konsep-konsep Dosa Warisan dan Penyaliban hanyalah berlandaskan pada dugaan dan khayalan para theolog Kristen pada masa belakangan. Sangat mungkin bahwa hal-hal itu muncul dari beberapa dongeng sebelum Kristen yang memiliki sifat sama, yang ketika diterapkan pada kondisi-kondisi Yesus Kristus, menarik mereka untuk mendapatkan persamaan-persamaan yang dekat antara keduanya dan menciptakan sebuah dongeng yang serupa. Ringkasnya, apa pun misteri (hal yang belum terbuka) dan paradoks (hal yang ber lawanan dengan asas) yang ada, seperti yang kita saksikan, sebegitu jauh tidak ada bukti bahwa falsafah Kristen tentang Dosa dan Penebusan Dosa itu berlandaskan pada sesuatu yang telah dikatakan atau telah dilakukan atau telah dipikirkan oleh Yesus. Dia tidak pernah mengajarkan hal yang sangat bertentangan itu, dan yang jelas-jelas melawan akal manusia.
1. Matius 27:46