Inilah Cara Gereja Memuliakan Perempuan ( 1 )
Inilah
Cara Gereja Memuliakan Perempuan ( 1 ). Skandal seks dan kekerasan di
gereja, khususnya gereja Katolik, sebenarnya bukan isu baru. Meski
demikian, terbongkarnya skandal seks dan kekerasan di lingkungan gereja
Katolik lewat pengakuan para korban-korbannya baru-baru ini, memicu
krisis di lembaga agama yang sangat menjunjung tinggi superioritas kaum
lelaki itu.
Dalam
artikel Newsweek berjudul "A Woman's Place Is in the Church", penulis
Lisa Miller mengkritisi kebejatan para pendeta dibalik dinding gereja
yang sudah berlangsung selama puluhan tahun, mulai dari Amerika, Eropa,
Irlandia, Brazil dan tempat-tempat lainnya. Pendeta-pendeta melakukan
pelecehan seksual dan penganiayaan terhadap anak-anak dan remaja bukan
di ruang-ruang Gereja Vatikan tapi di belakang halaman gereja mereka
sendiri: saat berkemah, di dalam mobil, di asrama dan di bilik-bilik
pengakuan dosa.
Para
korbannya, baik anak lelaki maupun perempuan, hanya bisa
menceritakannya dengan cara berbisik-bisik pada orang yang mereka
percaya; ibu, tante atau nenek. Sedangkan korban yang memiliki
keberanian lebih, yang mempertanyakan kebejatan itu atau berusaha
mencari keadilan dari keuskupan malah dibungkam dan menutup rapat-rapat
"rahasia" itu dari publik.
Saat
telah terbongkar pun, para pemuka gereja Katolik ada yang dengan
entengnya menanggapi berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh para
pendeta-pendetanya. Kardinal Humberto Medeiros misalnya, cuma
mengatakan, "Yang pasti, kita tidak bisa menerima perbuatan dosa, tapi
kita tahu pasti bahwa kita harus mengasihi para pendosa", pada seorang
ibu yang begitu marah karena tujuh anak lelaki dalam keluarganya menjadi
korban "perbuatan menyimpang" di dalam gereja.
Miller
dalam tulisannya berpendapat, munculnya perilaku bejat yang dilakukan
agamawan di dalam gereja, bukan karena konsep membujang yang diterapkan
gereja Katolik, bukan pula gelar keuskupan dan jubah kebesaran mereka
yang memicu jurang pemisah antara para agamawan yang berkuasa itu
dengan umatnya. Persoalannya ada pada para uskup dan kardinal yang
mengelola institusi gereja yang hidup di balik dinding gereja pada masa
pra-Pencerahan dunia.
Di
balik dinding gereja, para agamawan itu tidak tersentuh oleh wacana
demokrasi sebagai hasil dari revolusi Pranicis dan Amerika. Dalam
masalah moralitas, mereka lebih membela kelompok-dalam hal ini
gereja-diatas kepentingan pribadi serta memandang modernitas sebagai
ancaman. Masyarakat Barat yang menganut sistem demokrasi kerap
mengkritisi sistem hierarki gereja yang mengabaikan hak-hak pribadi.
Dengan
melihat modernitas sebagai ancaman, para lelaki yang menguasai gereja
Katolik dengan sengaja mengabaikan perkembangan zaman modern;
keterlibatan kaum perempuan dalam sektor publik dan lapangan kerja.
Meski dalam sejarah Katolik ada sosok perempuan, Bunda Maria, yang
sangat mereka agungkan, tapi faktanya gereja Katolik memarginalkan kaum
perempuan. Doa mereka yang menyebut nama perawan suci itu, jadi tidak
bermakna.
Bukan
cuma gereja Katolik yang menolak peran perempuan dalam gereja, aliran
lainnya dalam Kristen, baru beberapa dekade ini saja mau menerima
perempuan berkiprah dalam struktur gereja. Di Denmark, baru pada tahun
1948 seorang perempuan dari penganut Lutheran diberi hak pentasbisan Di
AS, baru pada tahun 1976, seorang perempuan ditahbiskan menjadi
pimpinan gereja episkopal.
Di
gereja Katolik Roma, para agamawannya bukan hanya menghindari
perkawinan, tetapi juga menghindari keintiman dengan perempuan dan
hubungan profesional dengan perempuan dan tentu saja jauh dari kehidupan
berkeluarga dimana ada anak-anak di dalamnya. Elaine Pagels, seorang
profesor bidang agama di Princeton bahkan mengatakan bahwa ia melihat
hierarki di gereja sangat tidak memperhatikan masalah kesejahteraan
anak-anak.
"Buat
Anda dan saya, hal ini sangat sulit dimengerti. Bagi kita,
kelihatannya mereka sudah tidak sejalan dengan apa yang layaknya berlaku
di dunia. Tapi, mereka memang tidak mau berurusan dengan dunia," kata
Pagels.
Terbongkarnya
kasus pelecehan seksual dan penyiksaan di dalam gereja, menjadi
pertanda bahwa sudah saatnya gereja mereformasi diri. Upaya gereja
Katolik untuk lebih berintegrasi dengan kehidupan dunia modern seperti
termaktub dalam dokumen Dewan Vatikan Kedua di awal tahun 1960-an
perlu dilanjutkan. Dokumen itu secara terbuka menyinggung soal peran
serta perempuan dalam gereja.
Dalam
kata penutup dokumen itu tertulis, "Saatnya sudah datang, dimana kaum
perempuan dibutuhkan di dunia ini untuk memberikan pengaruh, dampak dan
kekuatan seperti yang dicapai sekarang ini. Itulah sebabnya, pada masa
kini ... kaum perempuan yang memiliki semangat Injil dapat melakukan
banyak hal untuk mencegah runtuhnya kemanusiaan."
Pada
tahun 1988, Paus Paulus II menguraikan dalam suratnya "Mulieris
Dignitatem (Martabat Perempuan)" tentang sentralitas kaum perempan pada
gereja, meski enam tahun kemudian, Paus menegaskan bahwa gereja menolak
untuk mempertimbangkan pentahbisan perempuan menjadi imam gereja. ( eramuslim.com )