Beberapa Kesyirikan Intelektual Muslim
Beberapa
Kesyirikan Intelektual Muslim - Term syirik sudah tidak asing lagi di
telinga umat Islam. Hal itu tidak lain dikarenakan satu kata ini
merupakan bentuk dosa terbesar yang tidak terampuni (terkecuali
pelakunya benar-benar menyelami taubat nashuha sebelum wafat).
Ketika
seseorang mendengar istilah syirik, maka terpatri di hatinya bahwa
istilah ini berarti anggapan akan adanya yang lain yang sama pentingnya
atau bahkan lebih penting. Dalam hal ini adalah Tuhan di-dua-kan atau
bahkan sampai di-nomor sekian-kan. Dengan bahasa lain, di satu sisi
menyembah kepada Tuhan, namun di sisi lain juga menyembah kepada
selain-Nya.
Syirik
yang secara terminologi berarti ‘mencampurkan’ ternyata di zaman
postmo ini tidak hanya dalam segi spiritual, namun juga intelektual.
Jika syirik spiritual mengindikasikan pelakunya melakukan
perselingkuhan kepada Sang Pencipta terhadap ciptaan-Nya atau bertuhan
lain di samping Tuhan yang sebenarnya, maka dalam syirik intelektual
ini, maknanya tidak jauh berbeda yaitu menjadikan akal sejajar dengan
wahyu, konteks sejajar dengan teks atau bahkan keduanya yang disebutkan
pertama (akal dan konteks) lebih dikedepankan dari pada yang disebutkan
terakhir (wahyu dan teks).
Dalam
artian, sumber kebenaran yang menjadi tolak ukur pemikiran
(intelektual) manusia bukan mengedepankan agama, namun justru melempar
agama ke belakang dan menjadikannya pengekor yang selalu mengikuti
kepentingan atas nama kemanusiaan. Ini kemudian berimbas pada pengakuan
bahwa tidak ada kebenaran yang mutlak. Dan berakhir pada pengakuan
terhadap yang plural dalam beragama atau sering dikenal dengan
pluralisme agama. Atas nama kemanusiaan akhirnya agama dimanusiakan.
Syirik
intelektual ini telah mewabah seperti halnya jamur di musim hujan,
sampai kemudian berhasil menempati ruang di hati sebagian cendikiawan
muslim.
Jika
dilihat dari hukumnya, syirik intelektual ini dapat digolongkan
sebagai syirik besar (akbar), karena dampak yang ditimbulkannya tidak
jauh berbeda dengan syirik spiritual. Bahkan diperparah lagi, syirik
semacam ini menimbulkan virus yang lebih ganas karena penyebarannya
sudah meluas melalui media massa dan terstruktur. Tidak hanya itu,
perguruan tinggi Islam yang seharusnya menjadi ujung tombak perjuangan
aqidah juga tidak luput dari syirik intelektual ini. Justru dari sanalah
akar syirik intelektual dikembangkan serta disebarkan.
Dan
Inilah tantangan umat Islam di zaman postmodern, yaitu zaman di mana
titik tolak segala sesuatu berangkat dari peniadaan (penafian) yang
absolute dan penolakan metafisika, sedangkan Islam sendiri berangkat
dari yang absolute (wahyu) dan melalui jalan metafisika yang jelas.
Walaupun keduanya terlihat kontradiktif (antara postmo dan Islam), bukan
berarti Islam tidak sesuai dengan zaman, namun justru Islam datang
untuk mengatasi zaman yang diporak-porandakan oleh paham menyimpang
terutama kesyirikan dan Islam mengajak untuk kembali kepada agama
tauhid.
Dengan
dalih pembaharuan, kemanusiaan dan penuntasan permasalahan kehidupan,
teks agama yang sudah jelas keabsahannya kemudian hanya dijadikan
sebagai dogma yang harus ditafsirkan ulang sesuai kemauan dan kondisi
zaman. Akhirnya tidak ada hukum yang bersifat tetap (tsawabit).
Mereka memang mengimani al-Qur’an dan As-Sunnah, bahkan mereka
menggembor-gemborkan untuk kembali kepada keduanya, namun harus
dibarengi dengan penafsiran baru dan disesuaikan dengan konteks yang
ada.
Banyak kasus-kasus yang bisa dimasukkan dalam kategori “syirik intelektual”. Seperti dalam jurnal Justicia fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang, th. IX, 2003 tertulis bahwa “setelah
Muhammad wafat, generasi pasca Muhammad terlihat tidak kreatif.
Jangankan meniru kritisisme dan kreativitas Muhammad dalam
memperjuangkan perubahan realitas zamannya, generasi pasca-Muhammad
tampak kerdil dan hanya mem-bebek pada apa saja yang asalkan itu
dikonstruk Muhammad.”
Kemudian satu tahun berikutnya, muncul lagi pemikiran bahwa “lesbian adalah fenomena rahmat Tuhan” (Jurnal Justisia Edisi 25 Tahun XI 2004, hlm. 55).
Begitu
juga yang terjadi di IAIN Gunung Djati Bandung (sekarang UIN), pada
hari Jum’at tanggal 27 Agustus 2004 bertempat di auditorium dalam acara
Ospek muncul beberapa pernyataan dengan lantang “selamat bergabung di area bebas Tuhan” dan “anjinghu akbar”. Sedangkan
Di UIN Jakarta fakultas Ushuluddin program studi Tafsir Hadits juga
sudah memberlakukan mata kuliah Kajian Orientalisme terhadap al-Qur’an
dan Hadits yang bertujuan “agar mahasiswa dapat menjelaskan dan
menerapkan kajian orientalis terhadap al-Qur’an dan Hadits.”
Sedangkan
di IAIN Surabaya pada tanggal 5 Mei 2006, Sulhawi Ruba, 51 tahun,
dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam, di hadapan 20 mahasiswa
Fakultas Dakwah menerangkan posisi al-Quran sebagai hasil budaya
manusia. "Sebagai budaya, posisi Al-Quran tidak berbeda dengan rumput."
Akhirnya dia menulis lafadz Allah dalam sebuah kertas kemudian
menginjaknya di depan para mahasiswa.
Dr.
Luthfi Assyaukanie pernah menulis bahwa “konsep agama seperti kitab
suci, nabi, malaikat dan lain-lain tidak terlalu penting lagi karena
yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati
spiritualitas dan mentransendenkan dirinya dalam lompatan iman yang
tanpa batas.” (Kompas, 3/9/2005).
Kemudian
di pihak lain muncul juga Prof. Dr. Musdah Mulia dengan pernyataan
yang cukup mencengangkan bahwa “tidak ada larangan secara eksplisit
baik untuk homo maupun lesbian dalamm al-Qur’an.” (Jurnal Perempuan No. 58, hlm.124).
“Tidak
ada perbedaan antara lesbian & bukan lesbian di hadapan Tuhan.
Tuhan melihat manusia semata-mata berdasarkan takwa, bukan suku, agama
dan orientasi seksualnya. (hlm.127).
Kemudian
Prof. Dr. Amina Wadud pada tahun 2005 menjadi khotib sekaligus Imam
sholat jum’at di salah satu gereja di Amerika dengan laki-laki
bercampur perempuan sebagai makmumnya. Dan masih banyak lagi pemikiran
semacam itu yang mencoba mendekontruksi syariah dengan melakukan
penafsiran baru yang lebih mementingkan kontekstual serta akal manusia.
Jadi
jelas, “syirik intelektual” ini menjadikan manusia yang merupakan
makhluk sosial sebagai pusat segalanya (antroposentris) dan
memarginalkan campur tangan Tuhan yang seharusnya menjadi pusat yang
sebenarnya (teosentris). Jika ditelisik jauh ke belakang, syirik
intelektual ini sebenarnya bukan tergolong barang baru, karena akarnya
sudah ada semenjak tradisi filsafat Yunani. Yaitu dengan pernyataan
Protagoras bahwa manusia adalah ukuran segalanya (man is the measure of
everything).
Untuk
itu perlu segera dilakukan pemurnian, sebagaimana syirik yang berasal
dari kata syaraka, berarti lawan katanya khalasha yang artinya
memurnikan. Maka syirik intelektual ini harus dimurnikan dengan
mereposisi al-Qur’an dan As-Sunnah yang mengajarkan tauhid sebagai
sumber hukum yang utama melampaui hukum-hukum yang ada buatan manusia
atau dalam bahasa yang lain teks dan naql (wahyu) harus selalu lebih
didahulukan dan dikedepankan daripada konteks dan ‘aql. Wallahu ‘alam
bish-shawwab. ( hidayatullah.com )