Oleh: Ust.Hartono Ahmad Jaiz.
AlDakwah.org--Seorang profesor yang sudah cukup tua tampak
turun gunung. Itu pertanda suasana agak gawat. Kalau beliau tidak turun tangan
maka akan dianggap tidak mau cawe-cawe (berpartisipasi).
Maka dia keluarkanlah
jurus-jurusnya, baik lewat televisi maupun majalah, untuk membela "cucunya"
(Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL/ Jaringan Islam Liberal) yang akan
dipites (1) orang gara-gara tulisannya (di koran
Katolik, Kompas, 18 November 2002, berjudul "Menyegarkan Kembali Pemahaman
Islam") yang lancang dan mengusik kebenaran Islam.
Sang Profesor berupaya keras untuk meyakinkan khalayak ramai bahwa cucunya tidak bersalah, hanya beda pendapat belaka, dan itu sah-sah saja. Untuk membela cucunya itu dia tuding orang yang mau memites cucunya itu sebagai kelompok Islam radikal, garis keras, ekstrem, fundamentalis, militan, bahkan dia ambil pula istilah dari orang walan tardho yaitu skripturalis yang artinya injili.
Dia tudingkan telunjuknya ke orang yang mau memites cucunya itu satu persatu sambil menyebut bulan atau tahun lahir masing-masing kelompok.
Dengan serak-serak berat, Sang Profesor mengemukakan data: Ada Gerakan Tarbiyah pada 1980-an, Komite Indonesia untuk Solidaritas (1987) -dia tidak terus terang menyebut KISDI-- , dan Ikhwanul Muslimin (1993).
Data yang di tangannya dikemukakan pula bahwa ada kelompok radikal yang baru lahir masa reformasi di antaranya Front Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Maret 1998), Front Pembela Islam (Agustus 1998), Himpunan Mahasiswa Antar Kampus (Oktober 1998), Hizbut Tahrir Indonesia (Mei 2000), dan Majelis Mujahidin (Agustus 2000).
Dia katakan, kelompok Islam fundamentalis itu ingin melaksanakan "hukum Tuhan" (2), termasuk hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau qishash bagi pembunuh. Sementara itu cucu dia yang tergabung dalam Islam Liberal berani menafikan hukum Tuhan itu. Maka akan dipites orang. Tentu saja Sang Profesor perlu turun gunung membelanya.
Dalam hal bela membela, Sang Profesor ini memang sudah banyak pengalamannya;
Sang Profesor berupaya keras untuk meyakinkan khalayak ramai bahwa cucunya tidak bersalah, hanya beda pendapat belaka, dan itu sah-sah saja. Untuk membela cucunya itu dia tuding orang yang mau memites cucunya itu sebagai kelompok Islam radikal, garis keras, ekstrem, fundamentalis, militan, bahkan dia ambil pula istilah dari orang walan tardho yaitu skripturalis yang artinya injili.
Dia tudingkan telunjuknya ke orang yang mau memites cucunya itu satu persatu sambil menyebut bulan atau tahun lahir masing-masing kelompok.
Dengan serak-serak berat, Sang Profesor mengemukakan data: Ada Gerakan Tarbiyah pada 1980-an, Komite Indonesia untuk Solidaritas (1987) -dia tidak terus terang menyebut KISDI-- , dan Ikhwanul Muslimin (1993).
Data yang di tangannya dikemukakan pula bahwa ada kelompok radikal yang baru lahir masa reformasi di antaranya Front Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (Maret 1998), Front Pembela Islam (Agustus 1998), Himpunan Mahasiswa Antar Kampus (Oktober 1998), Hizbut Tahrir Indonesia (Mei 2000), dan Majelis Mujahidin (Agustus 2000).
Dia katakan, kelompok Islam fundamentalis itu ingin melaksanakan "hukum Tuhan" (2), termasuk hukum potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, atau qishash bagi pembunuh. Sementara itu cucu dia yang tergabung dalam Islam Liberal berani menafikan hukum Tuhan itu. Maka akan dipites orang. Tentu saja Sang Profesor perlu turun gunung membelanya.
Dalam hal bela membela, Sang Profesor ini memang sudah banyak pengalamannya;
1. Ketika Pak
Munawir Sjadzali (Menteri Agama 1983-1993) melontarkan gagasan reaktualisasi
ajaran Islam dengan mengemukakan bahwa hukum waris Islam tidak adil, dan Pak
Munawir berpidato di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Syarif Hidayatullah
Jakarta bahwa ada beberapa ayat Al-Qur'an yang kini tidak relevan lagi; maka
Sang Profesor membela Pak Munawir.
Sang Profesor
berpidato di hadapan 200-an ahli syari'at di Kaliurang Jogjakarta. Lalu dengan
ilmu sebatas kemampuannya, Sang Profesor ingin membela gagasan Pak Munawir. Kata
Sang Profesor, kalau bagian warisan itu lelaki dua kali lipat bagian perempuan,
maka bagaimana cara membaginya? Maka meledaklah tawa para hadirin yang
kebanyakan tenaga ahli syari'ah di Pengadilan-Pengadilan Agama berbagai kota
yang sudah biasa memberi fatwa waris.
Mereka sepontan
menertawakan Sang Profesor yang tampak terlalu tidak menguasai materi pembahasan
ini. Saat itu pula mendadak sontak Sang Profesor ini turun dari podium, langsung
balik klepat (cepat-cepat) ke Jakarta bersama seorang
pendampingnya. Bagaikan orang yang nglurug (datang dengan menantang bertanding)
tiba-tiba jatuh tersungkur, maka bangkit langsung mlayu nggendring (lari
tunggang langgang).
Kalau dikaitkan
dengan tarikh/ sejarah, mungkin seperti kasus jagoan jahiliyah di Pasar Ukadz di
wilayah Makkah menantang khalayak, tahu-tahu dijotos Umar bin Khotthob langsung
nggledak (jatuh tersungkur). Jotosan para ahli syari'at di Kali Urang
Jogjakarta itu cukup hanya dengan tertawa bersama, lantas podium pun goyang
hingga Sang Profesor yang berdiri di podium itu tidak kerasan lagi, langsung
turun dan lari.
2. Di
kesempatan lain lagi, Sang Profesor ketiban sampur (berperan) untuk menjadi
pembicara dalam acara syukuran atas lulusnya Azyumardi Azra (kini Rektor UIN/
Universitas Islam Negeri Jakarta, dahulu bernama IAIN/ Institut Agama Islam
Syarif Hidayatullah Jakarta) dari Universitas Columbia, Amerika. Syukuran doktor
ini diisi oleh Sang Profesor dengan mengemukakan pembelaan terhadap Nurcholish
Madjid dalam pembicaraan tentang pembaharuan Islam di Indonesia. Sang Profesor
mengatakan, Nurcholish Madjid tidak mengatakan Tiada tuhan (t kecil) selain
Tuhan (T besar) seperti yang diberitakan selama ini. Nurcholish Madjid tidak ada
makalahnya yang seperti itu.
Itu hanya
bikin-bikinan seorang wartawan saja. Itu sudah saya tanyakan kepada Pak EBA
(Endang Basri Ananda), kata Sang Profesor. Ternyata setelah itu, Sang Profesor
jadi kelabakan. Tidak enak kepada Pak EBA, hadirin yang sudah diceramahi yang
tentu saja sudah bubar ke tempat masing-masing, dan lebih tidak enak lagi kepada
wartawan yang dituduh membikin-bikin berita bohong itu. Masih pula Sang Profesor
harus minta copian makalah Nurcholish Madjid kepada wartawan yang telah
dituduhnya secara terbuka itu.
Namun rupanya nasib
Sang Profesor masih beruntung, ketika meminta makalah yang dia anggap tidak
pernah ada itu kepada wartawan yang telah ia tuduh itu rupanya benar-benar
diberi copian makalah Nurcholish Madjid. Isinya memang ada terjemahan lafal
syahadat, menjadi Tiada tuhan selain Tuhan. Anehnya, Sang Profesor tidak
mencabut perkataannya, dan tidak minta maaf kepada wartawan yang
dituduhnya.
3. Sang
Profesor dikenal punya anak buah wanita muda, Wardah Hafidz, tokoh feminisme
alumni Barat. Suatu ketika ada polemik yang diarahkan kepada wanita muda itu,
dan nama Sang Profesor dibawa-bawa. Saat itu ungkapan lawan berpolemik, Ustadz
Abu Ridho, tampaknya menohok pula. Sehingga Sang Profesor yang dikenal selaku
"pembela" justru kena tohokan.
Tokoh feminisme
asuhan Sang Profesor itupun kini terkena badai gara-gara ucapannya di TV-7,
Ramadhan 1423H/ 2002M. Wardah Hafidz dalam wawancara TV-7 itu mengatakan: "Saya
sudah tidak lagi melakukan ritual konvensional (shalat, pen), tetapi dengan cara
saya sendiri. Kemiskinan tidak hanya bisa diselesaikan dengan cara seperti itu.
Saya punya cara sendiri. Dengan cara meningkatkan kepedulian untuk mencari
solusi kemiskinan.", ujar Wardah.
Di kesempatan lain,
Wardah Hafidz sendiri mengaku dinasihati ibunya: "Sampai Ibu mengingatkan,
shalatlah kamu. Kalau kamu nanti masuk neraka, Ibu tidak bisa menolong kamu,"
ujar Wardah mengutip kalimat ibunya. "Bu, saya telah dewasa, berilah saya hak.
Biarlah itu hak dan tanggung jawab saya," katanya. (Jurnal Islam, 10-16 Januari
2003, halaman 16). Apakah "kampanye" untuk meninggalkan shalat ini akan dibela
juga oleh Sang Profesor karena merupakan rekanannya, wallahu a'lam. Yang jelas,
kasus itu menuai kecaman pula dari ulama dan masyarakat.
Karena Allah SWT
telah menegaskan:
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, (QS Al-Muddatstsir: 42 dan 43).
"Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?" Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, (QS Al-Muddatstsir: 42 dan 43).
4. Kasus lain
yang tak kalah serunya, yakni Ulil Abshar Abdalla kordinator JIL (Jaringan Islam
Liberal) yang menulis di Kompas 18 Nopember 2002 berjudul "Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam", isinya menafikan hukum Tuhan. Kasus Ulil yang oleh FUUI (Forum
Ulama Umat Islam) dari Bandung disebut sebagai penghinaan agama itu dibela pula
oleh Sang Profesor lewat televisi dan majalah. Ketika membela Ulil Abshar di
Metro TV, Sang Profesor dipertanyakan oleh KH Athian Ali Da'i dari Bandung yang
diwawancarai lewat telepon, apa maksud Sang Profesor mengatakan bahwa Al-Quran
adalah filsafat. Sang Profesor tidak menjawabnya.
5. Satu lagi
yang dibela oleh Sang Profesor, yaitu Ahmadiyah, aliran yang menganggap Mirza
Ghulam Ahmad (India) sebagai nabi mereka. Sang Profesor kerangkak-rangkak
(berpayah-payah pergi) ke London sebagai "duta' orang Ahmadiyah Indonesia tetapi
mengatas namakan Muhammadiyah bersama Habib Hirzin --yang dulunya pemuda
Muhammadiyah lalu ke PKB partainya NU-mengundang penerus nabi palsu yaitu Tahir
Ahmad yang dianggap Khalifah ke-4 tingkat dunia bagi Ahmadiyah untuk datang ke
Jakarta/ Indonesia.
Lalu Sang Profesor
pun menjemput penerus nabi palsu itu ke Bandara Cengkareng Jakarta dan
mengalungi bunga terhadap penerus nabi palsu tersebut. Kehadiran penerus nabi
palsu dari London ke Indonesia tahun 2000 masa pemerintahan Gu Dur itu oleh Sang
Profesor bisa dimuluskan jalan berbagai upacaranya. Sampai-sampai penerus nabi
palsu itu dipertemukan dengan Presiden Gus Dur dan ketua MPR Amien Rais.
Dalam catatan
perjalanan Tahir Ahmad penerus nabi palsu yang disebarkan lewat majalah
khususnya di London, dipujilah perjuangan Sang Profesor yang sangat mengagumkan
bagi mereka atas lancarnya seluruh jalannya acara. Namun tidak lama setelah
pujian kepada Sang Profesor itu beredar di kalangan Ahmadiyah, tiba-tiba
hasilnya sangat mengejutkan.
Dengan "perjuangan"
Sang Profesor itu, kini hasilnya, banyak rumah-rumah orang Ahmadiyah di berbagai
tempat di Indonesia dihancurkan massa, karena orang-orang Ahmadiyah dikomandoi
penerus nabi palsunya telah sesumbar, Indonesia akan dijadikan negeri Ahmadiyah
terbesar di dunia. Sesumbar itu disambut oleh umat Islam dengan perlawanan, di
antaranya terjadilah penghancuran rumah-rumah para pengikut nabi palsu yang
makin nglunjak itu. "Nah, lhu!" kata orang Betawi/
Jakarta.
Sekarang Sang Profesor menghadapi banyak sekali masalah. Yang dibela itu ada yang sudah struk berlama-lama di usia tuanya dan tidak jadi petinggi negara lagi. Ada yang dianggap kafir dan murtad karena "mengkampanyekan" untuk tidak shalat, ada yang menafikan hukum Tuhan, ada yang disebut sebagai gatoloco (faham menafsirkan Islam seenak perutnya), ada yang menjadi pengikut nabi palsu namun sesumbar untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri terbesar pengikut nabi palsu, hingga rumah-rumah orang-orang sesat yang sesumbar itu dihancurkan massa, dan ada yang diancam mati alias mau dipites orang.
Sang Profesor mestinya tanggap. Ketika berbicara di depan ahlinya, sedang dirinya tidak ahli, lalu ditertawakan, betapa malu dan sakit hati. Lebih-lebih ketika mempertanggung jawabkan pembelaannya di akherat kelak, kepada Allah SWT yang hukum-Nya mau ditegakkan oleh hamba-Nya, tahu-tahu Sang Profesor itu adalah pembela dari para penentang hukum-Nya, maka betapa klimpungannya di hadapan Allah SWT kelak. Tidak sekadar klimpungan seperti menghadapi orang yang dituduh tanpa bukti, lalu malah Sang Profesor minta bukti (makalah) kepada wartawan yang dituduhnya seperti tersebut di atas, lalu diberi bukti yang justru menghantam Sang Profesor sendiri.
Sebelum umur Sang Profesor habis untuk hal-hal yang merugikan umat dan diri sendiri, lebih baik kembali kepada hukum Allah, dan bertaubat dari pembelaan-pembelaan yang menjerumuskan diri dan umat.
Sekarang Sang Profesor menghadapi banyak sekali masalah. Yang dibela itu ada yang sudah struk berlama-lama di usia tuanya dan tidak jadi petinggi negara lagi. Ada yang dianggap kafir dan murtad karena "mengkampanyekan" untuk tidak shalat, ada yang menafikan hukum Tuhan, ada yang disebut sebagai gatoloco (faham menafsirkan Islam seenak perutnya), ada yang menjadi pengikut nabi palsu namun sesumbar untuk menjadikan Indonesia sebagai negeri terbesar pengikut nabi palsu, hingga rumah-rumah orang-orang sesat yang sesumbar itu dihancurkan massa, dan ada yang diancam mati alias mau dipites orang.
Sang Profesor mestinya tanggap. Ketika berbicara di depan ahlinya, sedang dirinya tidak ahli, lalu ditertawakan, betapa malu dan sakit hati. Lebih-lebih ketika mempertanggung jawabkan pembelaannya di akherat kelak, kepada Allah SWT yang hukum-Nya mau ditegakkan oleh hamba-Nya, tahu-tahu Sang Profesor itu adalah pembela dari para penentang hukum-Nya, maka betapa klimpungannya di hadapan Allah SWT kelak. Tidak sekadar klimpungan seperti menghadapi orang yang dituduh tanpa bukti, lalu malah Sang Profesor minta bukti (makalah) kepada wartawan yang dituduhnya seperti tersebut di atas, lalu diberi bukti yang justru menghantam Sang Profesor sendiri.
Sebelum umur Sang Profesor habis untuk hal-hal yang merugikan umat dan diri sendiri, lebih baik kembali kepada hukum Allah, dan bertaubat dari pembelaan-pembelaan yang menjerumuskan diri dan umat.
Inilah sekadar
kronologi "perjuangan" Profesor Dawam Rahardjo, rektor Universitas Islam 45 di
Bekasi Jawa Barat.(*). Selayaknya beliau bertaubat sebelum habis masa edarnya di
dunia ini.
Imbauan Allah dalam
firman-Nya berikut ini perlu disimak:
"Katakanlah: "Hai
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu
berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". (QS
Az-Zumar: 53).
"Dan kembalilah kamu
kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu
kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi)". (QS Az-Zumar: 54).
"Dan ikutilah
sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab
kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya", (QS Az-Zumar/39:
55).
..supaya jangan ada
orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam
(menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk
orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah). (QS Az-Zumar/ 39:
56).
( Makalah ini
disebarluas di Daurah Mahasiswa se Jawa Timur tentang Kewaspadaan Ummat, di
Surabaya, 15/3 2003; di Tabligh Akbar tentang Sesatnya JIL (Jaringan Islam
Liberal) di Masjid Al-Istiqomah Bandung, 16/3 2003; dan dimuat di Majalah Media
Dakwah, April 2003.)
(*) Kami
mendapat klarifikasi dari Universitas Islam "45" (UNISMA) Bekasi, bahwa Prof. Dr
M Dawam Rahardjo, SE, mulai 10 Oktober 2000 sudah tidak menjabat sebagai Rektor
Universitas Islam "45" (UNISMA)
footnote:
1. Istilah Jawa dan
Betawi/ Jakarta yang artinya dibunuh dengan cara menekan kepala pakai jempol
tangan dan jari telunjuk. Yang biasa dipites adalah binatang-binatang kecil
seperti belalang, jangkrik dan lain-lain, yaitu dimatikan dengan cara kepalanya
ditekan pakai jempol tangan dan jari telunjuk.
2. Rupanya Sang
Profesor sudah ragu-ragu tentang hukum Tuhan, sehingga perlu diberi tanda kutip,
karena "cucunya", Ulil Abshar Abdalla pengomando JIL, tidak mempercayai adanya
hukum Tuhan.